Ini adalah sebuah cerita yang aku copy dari sebuah artikel.
cerita yang sangat menyentuh,hingga membuat aku berpikir,"sebegitu egoiskah saya dalam menjalani Hidup ini??"
Masih banyak hal yang dapat aku syukuri sampai saat ini,tetapi tidak semua syukur itu dapat aku pahami dengan baik arti dan maknanya dalam hidup ini.
Semoga sebuah kisah nyata yang aku cuplik ini dapat memberikan sedikit kebaikan bagi kita semua..
Ini adalah foto dari seorang ibu penjual serabi bernama Ibu Ikah.
Ibu Ikah, 32 tahun, penjual kue serabi itu selalu terlihat berjualan di sudut simpang jalan. Ia menjajakan serabi di simpang jalan itu hanya di dua pekan terakhir saja, semenjak tanah kosong di sisi kanan persimpangan jalan itu tengah ramai oleh "pasar malam". Rombongan kemedi putar dan aneka mainan rakyat lainnya yang ikut ambil bagian menambah semarak pasar rakyat yang dibuka setiap malam itu. Sudah tentu itu membuat para pedagang seperti Bu Ikah tersenyum senang lantaran jajakannya laris manis.
Tapi malam itu, satu malam sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, Bu Ikah nampak sedih. Setumpuk kue serabi yang sudah dimasaknya belum terjual, dan bara api pun dipadamkannya sesaat sambil menunggu pembeli. "Berapa harga satu kuenya bu," sapaan saya membuyarkan lamunannya, entah apa yang sedang dilamunkannya, tapi sangat jelas wajahnya memancarkan kesedihan.
Rupanya, malam itu tak banyak uang yang diperoleh ibu tiga anak itu. "Baru cukup untuk kembali modal saja pak," lirihnya. Pesanan sepuluh kue serabi dari saya membuatnya sedikit tersenyum, kecil terdengar suaranya berucap syukur. Tapi tetap saja belum menghilangkan gurat muram di wajahnya. Lukisan di wajahnya itu yang memaksa saya untuk lebih lama lagi di tempat itu, namun bukan untuk menambah pembelian jumlah kue. "Sudah berapa kue terjual malam ini bu?" tanya saya mengagetkannya. Nampaknya ia tak menyangka mendapat pertanyaan itu.
Tak ada angka terbilang untuk pertanyaan itu, pun ketika pertanyaan tentang keuntungan yang diperolehnya malam ini. Kemudian ia tersenyum, dengan mata menerawang ia seperti sedang membaca langit. "Sejak hari pertama jualan di sini, saya dapat untung banyak. Tapi tiga hari terakhir ini, hanya uang kembali modal yang terbawa pulang. Ada sih sedikit lebihnya, tapi….; ia menghentikan kalimatnya dan tertunduk sesaat. Sadar saya menatap wajahnya, Bu Ikah buru-buru membenahi wajahnya dan memaksakan sebuah senyum.
"Kenapa bu? Kok sedih," saya bisa melihat dengan jelas ia sangat bersedih dan menduga kesedihan itu dikarenakan sedikitnya keuntungan yang diperolehnya tiga malam terakhir. Ternyata saya salah.
"Bukan itu pak, biar cuma jualan kue serabi saya merasa sebagai orang berpenghasilan. Saya nggak mau dianggap orang lemah, dan karenanya saya selalu menyisihkan sedikit dari keuntungan berjualan kue untuk zakat atau sedekah ke orang yang lemah
Nyaris tak ada kata lagi yang mampu terucap oleh saya mendengar alasan kesedihannya. Jika tak ia lanjutkan kalimatnya pun, saya mengerti maksudnya.
Jika tak ada keuntungan yang diperolehnya malam itu,bagaimana ia bisa berinfak?
Kalimat terakhirnya begitu menohok makna kedermawanan yang selama ini saya pahami.
"Entah berapa yang bisa saya sedekahkan dari sedikit keuntungan saya malam ini?"
kalimat Bu Ikah itu terus membayangi sepanjang malam saya, hingga detik ini.
Bayu Gawtama
Kamis, 15 Juli 2010
Belajar dari Seorang Penjual Serabi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
greatly inspiring! wow..subhanallah :)
nia mandala >> subhanallah ceritanya.... terharu.. ;)
waah.. hebat ibu itu.. keikhlasan untuk berbagi mengalahkan keegoisan untuk sendiri. salutth
Inspiratif
Omong", ibunya umur 32 tahun kok tua bingit? -_-a
Posting Komentar